Header Ads

Politik Etis di Masa Lampau dan CSR pada Zaman Sekarang

  



Jika kalian pernah membaca novel berjudul "Saijah dan Adinda" yang berlatar belakang  kemiskinan petani di Banten pada  akhir 1880an pada zaman Cultuur Stelsel atau tanam  paksa. Itulah potret buram yang berhasil direkam oleh seorang pegawai Belanda bernama Max Havelaar tentang betapa kejamnya penjajahan di Tanah Nusantara ini. 

Novel tersebut  laris bak kacang goreng di Benua Eropa, dan pada akhirnya issue-nya terus menggelinding tentang perlunya merawat dan membalas budi terhadap tanah jajahan Hindia- Belanda.  Namun dibalik itu, pada tatanan prakteknya Bumi Putra (Inlander) agar terus memberikan keuntungan terus menerus kepada tuan mereka.

Novel satir tersebut menginspirasi banyak orang Eropa, salah satu diantaranya adalah Van Deventeer yang menulis sebuah artikel koran yang membuat kerajaan Belanda gerah. Maka pada  17 september  1901 Ratu Wilhelmina mengeluarkan kebijakan Politik Etis atau Balas Budi, yang berisi program edukasi, emigrasi  dan irigasi. 

Ketiga program tersebut hanya sebagai topeng untuk mendinginkan opini di Eropa, dan sebenarnya adalah investasi  berbentuk infrastruktur demi menguntungkan Tuan tanah serta perusahaan Belanda saja. Rakyat di tanah jajahan cuma jadi penonton dan tetap merana terbelenggu kemiskinan. Walaupun begitu, melalui program edukasi menelurkan banyak tokoh bangsa, founding father negara kita.

Lalu apa kaitan antara Politik Etis dan Corporate Social Responsibility (CSR)? Perubahan  dunia terus berputar. Apabila abad 19 dunia menganut faham imperialisme, maka pada era setelah perang dunia kedua berubah menjadi lebih sempurna yaitu Kapitalisme. 

Pada tahun 1967 saat sang Putra Fajar lengser, investasi secara bergelombang masuk ke Indonesia. Inilah periode yang bentuk rupa Kapitalisme berkembang melalui investasi pertambangan, manufaktur, dan lainnya.

Sampai hari ini banyak kegagalan dan kehancuran yang tersisa, salah satu contohnya adalah lahan subur yang dijadikan sebagai Kawasan Berikat seperti yang terjadi di Kabupaten Bekasi di daerah Kecamatan Setu, Cikarang Barat, dan Cibitung. Selain itu juga menghasilkan karbon dan mencemari air sungai seperti Kali Sadang, Kali Cikarang, Kali CBL, dan Kali Bekasi. Pelan tapi pasti budaya sungai berubah. Air menjadi barang mahal di sungainya sendiri, petani tak lagi merdeka hasil panennya.

Salah satu cara mencuci tangan akibat ulah serampangan industri adalah dengan CSR, yang sebenarmya adalah tanggung jawab akibat dampak yang dihasilkan oleh proses industri atau pabrik itu sendiri. Mereka (perusahaan) membagikan donasi berupa daging kurban, sembako, buku tulis, atau makananan dengan publikasi yang gencar lewat media massa. 

Tujuannya adalah jelas, untuk memperoleh image (citra) positif agar lingkungan sekitar mendukung keberlangsungan perusahaan tersebut. Padahal  dibalik itu, ribuan kubik limbah cair berbau, berbusa, dan diduga berbahaya yang telah menghabisi ekosistem itu, dibuang langsung ke kali/sungai.

Sebagian dari raja kecil dalam pemerintahan aktif mengajukan proposal, bahkan dalam tingkatan Pemerintahan Daerah di beberapa daerah di Indonesia, sudah terbentuk Forum CSR, yang dalam banyak hal menghamba kepada korporasi tersebut. Padahal CSR adalah kewajiban terhadap masyarakat lingkungan sekitar dan menjaga alam adalah tugas pribadi kita semua sebagai khalifah dimuka bumi yang diwajibkan oleh Sang Maha Pencipta.


Oleh Jhon Smokers (Penggiat Lingkungan di Komunitas Save Kali Cikarang)


Diberdayakan oleh Blogger.